JEJAK ASAL USUL
JEJAK ASAL USUL.
Saat bayang-bayang masa lalu telah diberi nama, satu misteri tetap membayangi garis hidup Nara: dari mana asal kekuatannya? Siapa Abah Amal sebelum menjadi ajengan? Dan mengapa Dukun Larang tak pernah benar-benar hilang?
Petualangan Nara berlanjut ke sebuah desa terpencil di perbatasan Banten–Lampung, tempat asal mula ajaran kuno yang bahkan tidak tercatat dalam kitab Abah. Di sanalah Nara akan membuka lembaran paling tua, dan menghadapi musuh yang tidak hidup, tidak pula mati—melainkan keyakinan yang dibelokkan.
---
Malam itu Nara memulai perjalanannya menuju Desa Wanaasih, desa yang bahkan para petapa enggan sebut namanya. Di sanalah konon Abah Amal pernah menutup pintu neraka kecil yang disebut “Lubang Madra.” Tempat itu kini kembali terbuka. Dan cahaya dari tubuh Nara menjadi satu-satunya kunci baru.
Namun, yang menunggu di dalam bukan hanya iblis, melainkan manusia yang memilih menjadi iblis. Seorang mantan murid Abah Amal yang dianggap hilang—Ki Maruta. Ia ahli dalam kebatinan tingkat tinggi, mampu menguasai bayang dalam tubuh manusia, menyulap pikiran menjadi senjata.
Di gerbang masuk desa, Nara disambut oleh patung batu dengan wajah tertutup kain hitam. Patung itu mendesis ketika ia lewat. Suara dari balik batu berkata:
“Ilmu terang tak berhak melangkah di tanah ini.”
Nara menggenggam kerisnya. Ia tahu, pertempuran kali ini bukan lagi soal mantra biasa. Ini soal ilmu kebatinan. Bukan sekadar mengusir jin, tapi melawan sugesti, menundukkan niat buruk, dan menjaga keyakinan diri dari pecah.
Di dalam desa, langit tampak beku. Matahari seperti tidak bergerak. Waktu membatu. Di tengah alun-alun, seorang lelaki bersila di atas lingkaran darah kering. Wajahnya seperti topeng candi, mata hitam mengilat.
“Selamat datang, Nara. Pewaris darah pengkhianat.”
“Dan kau… murid yang gagal.”
Tawa Ki Maruta membelah tanah. “Kau pikir Abah Amal benar? Ia mencuri warisan yang seharusnya jadi milik leluhurku. Dan kini, darahmu akan menyempurnakan lingkaranku.”
Pertarungan dimulai. Bukan dengan tangan, tapi dengan batin.
Nara memejamkan mata. Dalam pikirannya, Ki Maruta melempar mantra yang mewujud sebagai bentuk trauma: sosok ibunya hangus terbakar, suara Abah Amal berteriak memanggilnya pengecut, bayangan Dukun Larang tertawa di balik tubuhnya.
Nara hampir jatuh. Tapi ia ingat satu ajaran Abah Amal:
> “Batinmu bukan tempat menyimpan luka, tapi rumah bagi cahaya. Jangan izinkan siapa pun menyalakan api asing di dalamnya.”
Dengan satu napas panjang, Nara membuka “kaca batin.” Semua ilusi runtuh. Ia balas menyerang dengan mantra kuno dari kitab yang ditemukan di Pananjung.
“Yaa Nurul Baatin, sirnakan kabut niat.”
Mantra itu bukan memukul, tapi mengungkap. Semua kebencian Ki Maruta terpancar sebagai bayangan dirinya yang kecil, ketakutan, haus pengakuan.
“Abah tidak membencimu,” kata Nara. “Kau yang menutup pintu ke pulang.”
Ki Maruta berteriak, tubuhnya mulai terkoyak oleh cahaya batin yang tak sanggup ditanggung. Ia menjerit:
“Aku tak mau jadi manusia biasa! Aku pantas jadi penjaga dunia!”
Dan pada puncak jeritannya, tubuhnya terbakar oleh mantra yang ia lempar sendiri. Sebelum lenyap, ia mengutuk:
“Bayangku akan hidup dalam bayangmu, Nara… Aku tak pernah mati…”
Desa Wanaasih bergetar. Langit bergerak kembali. Patung-patung membuka matanya dan menangis. Sebuah segel terbentuk di tanah, menutup lubang Madra.
Nara berdiri. Napasnya berat. Tapi hatinya tenang. Satu lagi simpul sejarah terurai. Dan ia tahu, ini belum akhir.
Di cakrawala, suara Abah Amal terdengar—lembut namun tegas:
“Bayang baru telah menunggu. Tapi cahaya sudah tahu caranya.”
TAMAT
Komentar
Posting Komentar