menara gading di tengah kota

Langit Jakarta sore itu gelap, seperti dilukis oleh tangan yang murka. Hujan turun rintik, namun udara terasa kering. Di tengah hiruk-pikuk kota, berdiri sebuah gedung baru menjulang setinggi 80 lantai: Menara Gading. Gedung itu belum resmi digunakan, tapi kabar aneh sudah lebih dulu menyebar—pekerja bangunan hilang, suara-suara dari lantai yang belum jadi, dan sosok tanpa wajah yang menampakkan diri di cermin lift.

Namun tak banyak yang tahu, seseorang diam-diam menyelidikinya: Nara Astagini, 23 tahun. Seorang gadis bertubuh mungil, berambut gelap sepunggung, dan bermata teduh, namun menyimpan rahasia kelam. Nara bisa melihat dan merasakan hal-hal yang tak kasat mata. Sejak kecil ia sering bicara sendiri, menghindari tempat-tempat terang, dan menyukai bangunan tua yang ditinggalkan. Bukan karena gila—karena ia bisa melihat mereka yang tidak hidup.

Setelah lulus dari kuliah arsitektur, Nara bekerja sebagai peneliti desain urban alternatif. Tapi lebih dari itu, ia menggunakan pekerjaannya untuk menelusuri gedung-gedung yang menyimpan aroma mistis. Ia percaya: beberapa bangunan dibangun bukan di atas tanah kosong, tapi di atas luka yang tak pernah sembuh.

Dan Menara Gading adalah luka itu.


---

Hari pertama ia datang sebagai "arsitek independen" yang ingin mempelajari struktur gedung tersebut. Ia masuk dengan izin terbatas ke lantai bawah. Nara mengenakan baju kerja biru dongker dan topi proyek, berjalan bersama seorang mandor bernama Pak Riko yang terlihat lelah dan muram.

"Aneh ya, tempat semegah ini tapi auranya... berat," kata Nara, pelan.

Pak Riko mengangguk, pelan. "Dari awal proyek ini dibangun, selalu ada yang ilang. Empat orang—dua belum ditemukan."

"Kenapa masih diterusin?"

"Uang, Mbak. Dan... katanya, pemiliknya dapet 'izin khusus'."

Nara mengangguk pelan. Matanya menyapu dinding lift yang mengilat. Ada bekas telapak tangan kecil di situ—tapi hanya Nara yang melihatnya. Tangannya merinding. Ia tahu ini bukan sekadar gedung angker.


---

Malamnya, Nara kembali sendiri. Ia sudah memalsukan ID untuk bisa masuk. Kamera pengawas? Ia sudah tahu jalur-jalur mati dan blind spot dari blueprint yang ia curi. Ia membawa kamera inframerah, voice recorder, dan jurnal kulit tua warisan ibunya, yang dulu seorang dukun urban terselubung.

Ia naik lift ke lantai 39—tempat terakhir salah satu pekerja hilang. Lift berjalan tanpa suara, namun di layar digital, angka berhenti di 37. Lalu 36. Lalu... 35.

"Kenapa turun?" gumam Nara. Ia menekan tombol 39 lagi.

Lift tidak merespons.

Ia mencoba pintu lift. Terkunci. Tapi kemudian... lampu mati. Suara nafas berat terdengar dari balik dinding logam. Nafas yang berembus seperti dari paru-paru busuk.

Nara menutup matanya. Ia tidak panik. "Tunjukkan dirimu," bisiknya.

Seketika, lift menyala. Tapi angka di layar berubah menjadi huruf-huruf:

K A M U - P E N G G A N G G U

Nara menatap tajam ke kaca cermin dalam lift. Bayangannya memudar. Di belakangnya ada sosok tinggi mengenakan helm proyek, namun wajahnya adalah rongga hitam kosong.


---

Ia akhirnya tiba di lantai 39.

Lorong sepi, belum dicat. Kabel listrik menjuntai seperti akar. Namun dindingnya... penuh coretan tangan. Seperti jejak orang-orang yang mencoba memanjat keluar dari dalam beton. Setiap langkahnya menggema. Tapi gema itu... tak sesuai dengan langkahnya.

Seolah ada langkah lain yang membuntutinya.

Nara menyentuh dinding. Ia membaca getaran-getaran gaib yang menempel di sana. Ia melihat kilasan—seorang pekerja menangis, dikurung di balik dinding, disemen hidup-hidup. Wajahnya tak bisa dilihat, tapi jeritannya nyata. Menara ini bukan sekadar gedung—ini adalah makam vertikal.


---

Di lantai 57, Nara menemukan ruang pamer pribadi milik pemilik gedung. Di sana, tergantung lukisan besar: gambar Menara Gading dalam bentuk abstrak. Namun ada keanehan. Dalam lukisan itu, gedungnya berdarah.

Ia melihat nama pelukisnya: S. Tanoe Widjaja, arsitek utama proyek.

Nara menelusuri dokumen. Tanoe adalah arsitek jenius, namun terobsesi dengan menciptakan “ruang abadi”. Ia percaya bahwa sebuah bangunan bisa menyimpan jiwa. Ia melakukan ritual saat peletakan batu pertama. Konon, ia mengorbankan seseorang. Beberapa bulan setelah itu, ia bunuh diri—dari lantai 80. Tapi tubuhnya tak pernah ditemukan.

Nara sadar: arwah Tanoe tidak pergi. Ia menjadi jiwa penunggu Menara Gading.


---

Tengah malam, Nara sampai di lantai 80. Lantai ini tidak terdaftar dalam blueprint resmi. Tangga menuju sini sempit dan gelap. Pintu menuju ruang utama terbuka dengan sendirinya. Angin dingin menyambutnya. Di dalam, hanya ada meja kerja besar, arsitektur maket, dan... tubuh.

Mayat-mayat pekerja yang hilang. Mereka diposisikan seperti patung, memegang alat, berpose membangun maket menara. Mata mereka kosong, membatu.

Nara menahan napas. Arwah mereka masih tertahan.

Lalu ia mendengar suara berat.

"AKU TELAH MEMBANGUN KEABADIAN."

Di balik ruangan, berdiri sosok Tanoe. Tingginya dua meter, tubuhnya menyatu dengan beton. Separuh wajahnya retak seperti dinding tua. Ia berjalan seperti patung bergerak, setiap langkahnya meninggalkan jejak debu dan darah.

Nara berdiri tegak. Ia menggenggam jimatnya, membisikkan mantra ibunya.

"Ruh yang tidak selesai, aku buka jalur pulangmu. Tapi jika kau menolak, kau akan terperangkap dalam kegelapan selamanya."

Tanoe mengerang. Sekeliling mereka berguncang. Maket menara retak. Tubuh-tubuh membatu mulai menangis darah.

Nara membacakan mantra terakhir, menusukkan jarum emas ke lantai. Simbol portal muncul. Cahaya menyilaukan menyelimuti ruangan. Jiwa-jiwa mulai keluar dari tubuh mereka. Tanoe menjerit, ditarik oleh kekuatan gaib.

"Aku tak bisa mati!" teriaknya.

"Tapi kau sudah mati sejak kau menolak menerima ajal," jawab Nara tenang.


---

Pagi harinya, Menara Gading diguncang berita aneh: seluruh lantai 80 hilang dari struktur gedung. Seolah tak pernah dibangun.

Dan Nara? Ia sudah menghilang dari tempat kejadian. Tak ada rekam jejak ia pernah masuk ke sana. Tapi di beranda apartemennya, ada satu maket kecil Menara Gading—dengan satu celah terbuka di puncaknya.

Ia menatap maket itu sambil menulis:

"Ruh yang disekap oleh kesombongan manusia, tak akan pernah menemukan rumah. Dan aku... akan terus membukakan pintu bagi mereka."


---

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK ASAL USUL

“Lintasan Terlarang di KM 29”