Cermin Waktu & Bayang Tak Bernama
Cermin Waktu & Bayang Tak Bernama
Waktu tidak pernah benar-benar lurus. Di dunia di mana siang bisa menjelma malam tanpa peringatan, dan masa lalu terkunci di balik pantulan kaca retak, seorang jurnalis indigo bernama Nara kembali menelusuri jejak ibunya yang hilang—dan menemukan bahwa tidak semua bayang ingin dilawan. Beberapa hanya ingin dikenang.
Malam Selasa Kliwon kembali jatuh. Udara lebih dingin dari biasanya. Seperti ada sesuatu di balik angin yang mengendap, mengintip dari balik tirai kenyataan.
Nara, jurnalis muda dengan kemampuan indigo yang diwarisi dari ibunya, kini tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran Sukawening. Setelah kejadian terakhir melawan Dukun Larang di Pananjung, ia mencoba hidup tenang. Tapi malam tak pernah membiarkannya benar-benar damai. Setiap Selasa Kliwon, ada suara langkah berat mengitari rumahnya dua kali. Tak pernah lebih, tak pernah kurang.
Ia sudah terbiasa. Tapi malam ini berbeda. Saat ia membuka pintu, seorang anak kecil berdiri di luar pagar.
“Alas Pangeringan manggil, Kakak,” katanya. “Ibunya Kakak di sana.”
Nara menggigil. Bukan karena udara. Tapi karena nama yang disebutkan. Alas Pangeringan adalah hutan yang disebut dalam kitab-kitab lama Abah Amal, gurunya. Tempat itu tidak ada dalam peta, tapi selalu hadir dalam mimpi-mimpi buruk para penjaga garis malam. Dikatakan, waktu di sana tidak berjalan seperti biasanya. Seseorang bisa masuk pagi-pagi dan keluar saat matahari sudah berganti warna.
Dan lebih menakutkan lagi, hutan itu adalah salah satu dari empat simpul dimensi, tempat di mana cermin waktu pertama kali diciptakan. Cermin yang tidak hanya memantulkan wajah, tapi memantulkan jalan hidup—dan kadang membuka pintu ke versi lain dari diri seseorang.
Nara membawa keris warisan Abah Amal dan sebuah lembar mantra peninggalan ibunya. Ia tahu ini bukan perjalanan biasa.
Di perjalanan menuju Alas Pangeringan, ia menemukan bahwa jalurnya tidak dilalui siapa pun. Jalan yang mestinya buntu tiba-tiba memanjang, rimbun pohon merapat seolah menutup dunia luar. Dan di tengah semua itu, suara-suara muncul—bukan dari makhluk gaib, tapi dari masa lalu.
“Nara, kamu tidak sendiri. Kita selalu menjagamu.”
Ia mengenali suara itu. Ibunya. Raras. Tapi suara itu terdengar jauh. Seperti terjebak di balik lapisan waktu.
Di tengah hutan, ia bertemu seorang lelaki berjubah bayang. Wajahnya tak bisa dikenali, selalu berubah—kadang seperti Abah Amal, kadang seperti Dukun Larang, kadang seperti dirinya sendiri.
“Aku adalah kesalahan yang tidak pernah diperbaiki,” kata lelaki itu. “Abahmu membiarkanku hidup karena ia takut menamakan aku. Dan kamu… adalah garis ulangnya.”
Makhluk itu adalah Bayang Tak Bernama—entitas tanpa identitas, yang tumbuh dari luka dan rasa bersalah. Ia bukan hantu, bukan iblis. Ia adalah semua versi ‘diri yang gagal’ yang ditinggalkan manusia.
Pertarungan tidak langsung terjadi. Nara diajak masuk ke dalam cermin waktu, di mana ia melihat berbagai versi dirinya:
— Nara yang memilih kabur dari dunia mistis dan hidup tenang. — Nara yang menjadi dukun jahat demi membalas dendam atas kematian ibunya. — Nara yang mati muda karena tak kuat menahan dunia dua alam.
Setiap versi memanggilnya, menawarkan jalan keluar. Tapi ia menolak semuanya.
“Aku tidak ingin jadi siapa-siapa kecuali yang sedang berjalan sekarang.”
Bayang itu bergetar. Ia belum pernah ditolak. Karena semua manusia biasanya ingin versi yang lebih kuat, lebih kaya, lebih sempurna. Tapi Nara memilih luka dan kekurangan yang ia miliki sekarang.
Lalu ia membuka lembar mantra ibunya.
Mantra itu bukan kutukan. Bukan pengusiran. Tapi doa. Kalimat yang membacanya akan membuat siapa pun merasakan kembali kasih yang pernah hilang.
Bayang Tak Bernama menangis. Tubuhnya mulai runtuh. Bukan karena kalah, tapi karena merasa diakui. Diterima. Untuk pertama kalinya.
Saat cahaya dari doa menyapu hutan, semua cermin waktu pecah. Tapi bukan menjadi pecahan tajam, melainkan menjadi kelopak-kelopak cahaya yang beterbangan. Dan dari dalam satu kelopak, Nara melihat ibunya tersenyum.
“Kamu sudah melewati ujian waktu, Nak. Sekarang jalani hidupmu.”
Ketika ia terbangun, sudah pagi. Alas Pangeringan tidak lagi ada. Di sekelilingnya hanya hamparan ladang bunga liar.
Ia kembali ke desanya. Suara langkah mengitari rumah tak pernah terdengar lagi. Tapi di malam Selasa Kliwon, ia sering bermimpi duduk bersama seorang lelaki berjubah bayang yang tidak lagi berubah-ubah rupa. Lelaki itu duduk diam, hanya menatap langit.
Dan ia tahu, beberapa bayang tak bernama kini telah punya wajah. Dan tugasnya belum selesai.
Karena di dunia ini, masih banyak cermin yang menunggu dibersihkan.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar