MALAM DENDAM NARA



Malam itu, langit tampak seperti lembaran kelabu yang ditoreh petir. Di tengah sunyinya desa kecil bernama Pananjung, suara gamelan samar mengalun dari kejauhan—padahal tidak ada hajatan. Nara turun dari ojek, ransel tergantung di punggung. Kamera tua dan buku catatan terselip dalam jaket kulit lusuhnya. Matanya menyapu desa yang tak tercantum di peta digital.

“Desa ini hilang dari pencarian internet,” gumamnya. “Tapi data korban nyata.”

Ia datang sebagai jurnalis, namun hati kecilnya tahu ini bukan sekadar liputan. Ia anak dari dua dunia: dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Indigo. Murid dari seorang ajengan sakti bernama Abah Amal. Dan malam Selasa Kliwon adalah malam ketika garis dunia dan akhirat paling tipis.

Tiga orang warga hilang berturut-turut, semua pada malam yang sama. Warga desa hanya berkata, “Itu malam pembuka gerbang, Mbak. Jangan keluar waktu itu.” Tapi Nara tahu, ini bukan soal kepercayaan. Ini tanda.

Di tengah alun-alun desa berdiri sebuah batu besar menyerupai manusia. Wajahnya tak rata, namun ada empat lekukan samar seperti wajah. Satu dari lekukan itu menyerupai wajah Nara sendiri. Gadis itu menelan ludah.

Malam pertama, ia bermalam di rumah panggung tua peninggalan lurah. Tepat tengah malam, suara langkah kaki mengitari rumah. Dua putaran. Langkah lambat, berat, seolah menyeret rantai. Tapi ketika ia mengintip, tak ada siapa pun. Ia merekam suara itu. Suara tidak terekam. Tapi nafasnya sendiri seperti tertahan di dadanya, seolah ditahan tangan tak kasat mata.

Di pojok rumah, ia menemukan potongan kitab tua bersampul kulit. Tulisannya berbahasa Jawa Kuno. Saat jarinya menyentuh lembar pertama, jari itu berdarah. Tulisan dalam kitab pun menyala: “Bayang Empat telah bangkit. Gerbang akan terbuka. Dan penjaga lama telah mati.”

Esoknya, ia kembali ke padepokan Abah Amal. Sang ajengan kini terbaring sakit, tak sadarkan diri, namun bibirnya terus bergumam mantra.

“Nara... Dukun Larang... Bayang Empat... Ampuni bayangmu...”

Ki Maheswara, murid tertua Abah Amal, menjelaskan bahwa ada empat cermin penjaga dimensi. Dulu dijaga oleh empat penjaga suci. Tapi satu dari mereka, Rasman—yang kini disebut Dukun Larang—berkhianat dan membebaskan salah satu dari Bayang Empat, makhluk gaib purba yang haus tubuh manusia.

“Dan dia menunggumu, Nara,” kata Ki Maheswara.

Dukun Larang ternyata menyimpan dendam pada Nara sejak lama. Dulu, ritual penggabungan dirinya dengan Bayang digagalkan oleh Abah Amal dan seorang perempuan bernama Raras—ibu Nara. Saat itu, tubuh Rasman hancur oleh api mantra. Tapi jiwanya lolos. Dan ia tahu siapa anak dari wanita yang mengorbankan nyawanya untuk menyegel gerbang itu.

Malam kedua, Nara kembali ke Pananjung. Di sana ia menemukan rumah ibunya yang dulu terbakar. Tapi dalam rumah itu ada cermin. Ketika ia menatapnya, ia melihat dirinya sendiri—namun versi yang lebih gelap. Mata merah, tangan berdarah, mulut tersenyum miring.

“Itu kamu jika gagal,” kata suara dalam cermin.

Tangan bayangan itu keluar dari cermin dan menarik Nara masuk. Pertarungan batin terjadi. Ia hampir kehilangan kendali. Tapi keris warisan Abah Amal yang ia bawa menusuk dada bayangan itu, membuat cermin pecah dan ia terlempar kembali ke dunia nyata.

Tubuhnya demam tiga hari. Tapi kini ia bisa melihat lebih tajam. Bahkan suara-suara gaib terdengar jelas. Ia tak butuh alat rekam. Matanya kini milik dunia bayang.

Hari keempat, ritual pembukaan gerbang dimulai. Dukun Larang, dengan tubuh baru yang menyerupai arang hidup, memanggil satu per satu Bayang Empat. Mereka muncul melalui cermin-cermin pecah yang tersembunyi di tempat sakral: Sumur di Banyuwangi, Gua di Gunung Gede, Pohon Randu di Garut, dan Batu Punden di Jogja.

Nara mengejar satu per satu. Setiap penyegelan mengorbankan sesuatu: rambutnya mulai memutih, ingatannya tentang masa kecil mengabur, bahkan satu waktu ia lupa nama sendiri. Tapi ia terus maju.

Pada penyegelan terakhir di lereng Halimun, ia menghadapi Dukun Larang sendiri. Lelaki itu tak lagi manusia. Matanya gelap, mulutnya seperti terbelah ke telinga. Tubuhnya diselimuti bayang hidup. Ia tertawa melihat Nara datang sendiri.

“Kau perempuan lemah. Tapi darah ibumu kuat. Sudah waktunya darah itu jadi milikku.”

Pertarungan antara mantra, keris, dan kekuatan batin terjadi. Nara hampir kalah. Tapi dalam kegelapan pikirannya, muncul sosok ibunya.

“Jangan lawan bayang. Jadilah cahayanya.”

Nara membuka kerisnya, menusukkan bukan ke tubuh Dukun Larang, tapi ke tanah. Keris itu menjadi cahaya yang menyilaukan. Bayang-bayang terbakar, jerit makhluk-makhluk dari dimensi lain menggema.

Dukun Larang pun terbakar oleh cahaya itu, tapi sebelum hancur, ia berteriak:

“Aku belum mati! Aku hanya tertidur di dalam bayangmu!”

Nara jatuh pingsan. Ketika ia sadar, dunia sudah sunyi. Ki Maheswara telah tiada. Rumah-rumah kembali terang. Dan orang-orang yang hilang muncul dalam keadaan linglung.

Ia pergi dari desa. Tapi sejak hari itu, setiap Selasa Kliwon, ia merasakan langkah-langkah mengitari rumahnya dua kali. Tak lagi takut, Nara kini bersiap.

Ia tak lagi jurnalis biasa. Ia adalah penjaga garis malam. Dan meski Dukun Larang telah disegel, bayang dendamnya akan selalu menanti dalam gelap.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

menara gading di tengah kota

JEJAK ASAL USUL

“Lintasan Terlarang di KM 29”