MANTRA BISU


> “Jika kau membaca namaku, jangan ucapkan dalam hati. Karena bahkan bisikan pun cukup untuk memanggilku...”
Itulah kalimat pertama dalam kitab tua bersampul kulit manusia yang ditemukan Nara di balik lemari besi milik Abah Amal—ajengan yang telah membimbingnya dalam dunia gaib. Kitab itu tak pernah berbunyi, tak pernah bersuara. Tapi setiap malam Selasa Kliwon, halaman-halamannya terbuka sendiri. Dan setiap kalimatnya, meski bisu, menanamkan rasa takut yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Malam itu, suara jangkrik tiba-tiba berhenti. Semua menjadi senyap. Bahkan detik jam seperti terdiam. Nara berdiri di depan cermin tua yang memantulkan bukan dirinya, tapi sosok bocah lelaki dengan mata hitam dan bibir yang bergerak tanpa suara.

“Namaku Pandu,” katanya—tanpa suara, tanpa getaran. Tapi Nara bisa mendengarnya di dalam kepalanya, sejelas suara hatinya sendiri.
Lalu cermin itu retak... dan dari balik retakan, keluarlah kabut hitam dengan wajah-wajah yang dulu pernah hidup.
Dan di antara kabut itu...
berdiri Dukun Larang—dalam tubuh baru.

"Kau membaca mantraku, Nara," katanya dengan senyum yang lebih dingin dari kubur. "Sekarang, kau adalah bagian dariku.”
Nara tersentak dari lamunannya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, padahal malam begitu dingin. Ia sedang berada di kamar belakang Padepokan Abah Amal, membaca ulang catatan-catatan lama yang ditemukan di bawah papan lantai. Kitab itu disebut Wocaning Japa, sebuah kitab mantra bisu yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang memiliki darah penjaga.

“Wocaning Japa tak pernah bersuara. Tapi jika dibaca dengan hati, ia membuka suara dunia lain,” kata Abah Amal, jauh sebelum ia jatuh koma.

Dan sekarang, suara itu memanggil. Tapi bukan suara seperti biasanya—ini bukan panggilan dari arwah gentayangan, bukan pula jin penjaga tempat keramat. Ini jauh lebih tua, jauh lebih kelam.
Pandu, anak lelaki yang muncul dalam cermin, bukan arwah biasa. Ia adalah sisa dari eksperimen Dukun Larang tiga puluh tahun lalu. Anak yatim piatu yang dibisukan dengan mantra, lalu dijadikan medium antara dunia manusia dan bayang-bayang.
Nara menyusuri jejak Pandu yang samar. Ia mendatangi sebuah desa kecil di pinggir Gunung Kendalisodo. Penduduk desa enggan berbicara, apalagi saat mendengar nama Pandu. Tapi seorang nenek tuli di ujung kampung menyerahkan selembar foto tua—foto anak kecil tanpa mata, berdiri di depan sumur yang ditutup dengan batu besar.
“Sumur itu dikutuk,” kata si nenek dengan bahasa isyarat. “Siapa pun bicara di dekatnya, lidahnya akan membusuk.”

Nara pergi ke sumur itu malam hari. Ia duduk bersila di tepinya, lalu membuka Wocaning Japa. Halaman demi halaman menampilkan tulisan yang tadinya tak terlihat. Tangannya gemetar saat membaca:

> “Mantra tidak terucap, hanya dipikirkan. Tapi pikir adalah pintu. Dan pintu akan terbuka jika dijawab oleh jiwa yang terperangkap.”

Begitu selesai membaca, tanah di sekitar sumur bergetar. Dari dalamnya, suara tangisan anak-anak menggema. Tangan-tangan kecil merangkak keluar, tubuh-tubuh yang setengah transparan berdiri dalam lingkaran.
Pandu muncul terakhir, dengan mata hitam dan bibir robek. Tapi kini ia berbicara—dengan suara yang berasal dari dalam kepala Nara.

“Aku tidak ingin kembali,” katanya. “Tapi Dukun Larang telah membangkitkanku lagi. Aku adalah jembatan. Kau membacakan mantranya, dan itu membuka gerbang.”

Nara tersentak. Ia telah terperangkap dalam permainan gaib yang lebih rumit dari sebelumnya. Dukun Larang tidak ingin membunuhnya secara langsung. Ia ingin mengikat Nara ke dalam dunia bayang. Dan Pandu adalah alatnya.
Dalam hari-hari berikutnya, Nara mulai mengalami gangguan. Bayangan di cermin bergerak sendiri. Suara langkah mengikuti meski ia sendirian. Dan yang paling mengerikan: ia mulai kehilangan suaranya.
Suara Nara melemah setiap malam Selasa Kliwon. Ia tak lagi bisa melafalkan doa. Bahkan untuk membaca basmalah pun hanya terdengar seperti bisikan angin. Ki Maheswara datang tergesa ke padepokan.

“Suaramu dicuri oleh mantra yang kau baca. Mantra bisu bukan untuk dilafalkan, tapi kau membacanya dengan batin. Itu membuka akses langsung bagi Dukun Larang untuk menanam jiwa Pandu dalam tubuhmu.”

Nara menolak pasrah. Ia mencari tempat pemurnian suara, sebuah goa keramat di Pegunungan Seribu. Di sana, ia harus bermeditasi tanpa mengeluarkan suara selama tujuh hari. Pada hari ketiga, roh Pandu mulai mengusik pikirannya.

“Kau tidak bisa melawanku. Aku adalah kau yang lain. Suara itu bukan milikmu lagi.”

Tapi Nara bertahan. Ia membuka lembar terakhir dari Wocaning Japa, dan di sana tertulis sebuah kalimat:

> “Agar suara kembali, jiwa harus bicara dari keheningan. Bukan lidah, bukan pikiran, tapi cahaya dari luka terdalam.”

Nara sadar, ia harus mengingat luka terdalamnya—kematian ibunya. Dalam meditasinya, ia membayangkan wajah sang ibu, lalu berseru dalam hati:

“Bu, aku ingin bersuara lagi. Bukan untuk bicara, tapi untuk melindungi mereka yang tak bersuara.”

Saat itulah, cahaya muncul dari dadanya. Suaranya kembali. Dan Pandu menjerit dalam kepalanya.
Tapi pertarungan belum selesai.
Dukun Larang muncul di depan goa, kini dalam wujud nyata. Tubuhnya besar, berselimut kain kabut. Ia membawa cermin besar yang berisi wajah-wajah terperangkap—salah satunya adalah wajah Nara.

“Kau bisa bersuara lagi, tapi aku yang akan membungkammu selamanya.”

Pertarungan berlangsung dalam dimensi bayangan. Nara membaca ulang mantra terakhir, tapi kali ini bukan dengan mulut, melainkan dengan darah. Ia menggambar lingkaran mantra di tanah dengan jarinya yang terluka.
Pandu muncul di antara mereka. Ia menatap Nara dengan tatapan minta tolong.

“Lepaskan aku,” katanya.

Nara menusukkan keris ke tanah dalam lingkaran. Cahaya meledak. Cermin pecah. Dan semua wajah yang terperangkap terlepas. Dukun Larang menjerit, tubuhnya tertarik ke dalam cermin yang hancur.

Sebelum menghilang, ia berseru:

“Aku tidak butuh suara. Aku adalah keheningan itu sendiri. Dan keheningan selalu kembali.”

Pagi harinya, Nara terbangun di depan goa. Kitab Wocaning Japa telah terbakar. Pandu tak terlihat lagi, tapi udara terasa ringan.
Namun di rumahnya, di meja kamar, ada selembar kertas kosong. Saat terkena cahaya pagi, muncul tulisan samar:

 “Selasa Kliwon berikutnya, aku akan berbicara lewat orang lain.”

Nara menatap cermin. Untuk pertama kalinya dalam sebulan, cermin itu hanya memantulkan dirinya sendiri.

Untuk sekarang.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

menara gading di tengah kota

JEJAK ASAL USUL

“Lintasan Terlarang di KM 29”