SELASA KLIWON
Pada malam Selasa Kliwon, tirai realitas dan alam gaib hanya dipisahkan sehelai benang. Ketika benang itu terkoyak, yang tersembunyi akan datang menyapa. Nara, seorang jurnalis muda sekaligus murid indigo dari seorang ajengan sakti di Banten, menghadapi malam yang tak akan pernah dilupakannya. Saat logika dan rasa tak mampu lagi menjelaskan, hanya keberanian dan ilmu warisan Abah Amal yang bisa membawanya pulang.
Desir angin menerpa dedaunan di pelataran rumah tua yang ditinggalkan puluhan tahun. Malam itu sunyi. Terlalu sunyi.
Nara menggenggam kamera dan ponsel dalam satu tangan, sementara tangan yang lain meraba jimat kecil pemberian Abah Amal—sebuah keris mini dari tembaga yang sudah aus, namun menghangat ketika disentuh.
Ia baru saja tiba di Desa Karangjati, desa yang katanya telah ‘hilang’ dari peta selama hampir tiga dasawarsa. Tapi informasi yang ia temukan di arsip tua surat kabar tempatnya bekerja—dan bisikan samar yang ia dengar dalam tidurnya selama tiga malam terakhir—membawanya ke sini.
Malam ini adalah Selasa Kliwon.
> “Jangan pernah menoleh ke belakang kalau kau dengar suara ibu-ibu memanggil namamu,” pesan Abah Amal saat Nara pamit dari padepokannya dua hari lalu.
Langkahnya pelan, menyusuri jalan setapak penuh lumut. Ia bisa mencium bau tanah basah, tapi tak ada hujan.
Desa itu... seperti tidak benar-benar nyata.
Rumah-rumah kayu berdiri dengan rapi, tapi jendela dan pintunya tertutup rapat. Tak ada suara ayam, tak ada lampu. Seperti panggung pertunjukan yang siap menyambut penonton... atau korban.
Nara mengambil napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan kehadiran ‘mereka’.
> “Tinggal sedikit lagi,” bisik suara itu. Bukan suara dari luar, tapi dari dalam kepalanya. Suara yang telah membimbingnya sejak kecil, sejak pertama kali Abah Amal menutup matanya dan mengajaknya ‘melihat’.
Pusat desa terletak di dekat pohon besar yang menjulang, konon disebut Pohon Kinasih. Di situlah dulunya sering diadakan sesajen besar tiap malam Selasa Kliwon. Sebelum desa ini menghilang.
Tiba-tiba, angin berhenti. Daun-daun diam, dan suara detak jantungnya terdengar jelas di telinga.
Seseorang... atau sesuatu... sedang memperhatikannya.
“Jangan takut, Nara. Kamu sudah melewati hal lebih buruk,” gumamnya sendiri.
Namun tubuhnya menegang ketika melihat sesosok perempuan berdiri di bawah Pohon Kinasih. Gaun putihnya kotor, rambutnya panjang tak beraturan. Wajahnya tak terlihat, tapi suara isaknya terdengar lirih.
“Ibu...”
Nara nyaris menoleh—sebuah reflek alami, saat suara perempuan itu memanggil namanya.
“Nara... anakku...”
Ia merogoh kantong dan mengambil segenggam garam yang telah didoakan. Dilemparnya ke tanah sambil melantunkan ayat dari Abah.
Sosok itu berteriak. Tapi bukan teriakan manusia. Seperti tulang yang digerus besi.
Pohon Kinasih bergetar.
Tiba-tiba, tanah terbuka, dan Nara terhisap ke dalam pusaran gelap.
Ia terbangun di sebuah ruangan batu yang dingin. Dinding-dindingnya dipenuhi tulisan kuno, dan di tengahnya, berdiri cermin tua sebesar tubuh manusia.
Dari cermin itu, muncul bayangan dirinya. Tapi mata ‘Nara’ di dalam cermin hitam sepenuhnya.
“Aku adalah kamu yang pernah menjadi, dan kamu yang bisa saja menjadi.”
Bayangan itu tersenyum.
“Kau terlalu jauh masuk, Nara. Dan di sini, waktu tak berjalan seperti di duniamu.”
Ia mundur, tapi tak bisa.
“Ini bukan hanya soal jurnalisme lagi. Ini pengabdian.”
Bayangan itu berubah menjadi sosok Abah Amal—namun wajahnya rusak, seolah meleleh.
“Abah?”
“Bukan... ini hanya bentuk yang kau percayai,” jawab makhluk itu sambil mendekat.
Nara menutup matanya dan mengingat mantera yang diajarkan padanya. Ia mengucapkannya dalam hati, kemudian mengangkat keris tembaga di tangan.
Cahaya menyala dari ujung keris itu, menusuk langsung ke wajah makhluk cermin.
Jeritan terdengar, dan retakan muncul di cermin. Ruangan itu berguncang. Cermin itu meledak, melemparkan Nara ke luar—kembali ke pelataran Pohon Kinasih.
Ia terbaring, tubuhnya lemas. Tapi langit mulai berubah warna. Fajar.
Desa Karangjati... perlahan memudar.
Ia melihat satu bayangan berdiri di kejauhan. Sosok Abah Amal.
“Kau telah melihat sisi lain dari Selasa Kliwon, Nara. Tapi perjalananmu belum selesai.”
Dan sebelum semua menjadi gelap, Nara tersenyum.
Ia tahu, ini baru permulaan.
Dua hari kemudian, redaksi tempat Nara bekerja menerima email tak bertanggal. Isinya satu file audio dan foto Pohon Kinasih. Dalam rekaman terdengar suara Nara, berbisik:
“Jika kalian membaca ini... jangan pernah ke Karangjati. Apalagi malam Selasa Kliwon...”
Tiga hari sejak kepulangan Nara, hidupnya tidak lagi sama. Setiap malam Selasa Kliwon, mimpi-mimpi buruk menghantui dan bayangan dari cermin itu terus muncul. Tapi yang lebih menyeramkan, Karangjati ternyata belum selesai dengannya. Ketika realitas mulai retak dan orang-orang di sekitarnya menghilang satu per satu, Nara harus kembali—kali ini bukan sebagai jurnalis, tapi sebagai penjaga gerbang antara dunia.
Hujan turun deras di Jakarta. Nara duduk sendiri di ruang redaksi yang nyaris kosong. Jam dinding menunjukkan pukul 23.33. Tepat seperti saat ia menginjakkan kaki di Karangjati dulu.
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Pintu terbuka lagi. Pohon Kinasih memanggil. Abah Amal dalam bahaya.”
Tangannya gemetar. Ia baru saja mengirim draft tulisannya ke editor—artikel tentang desa hilang dan mitos Jawa kuno. Tapi ia tahu, ini bukan fiksi. Ia sudah mengalaminya.
Tanpa pikir panjang, Nara meraih ransel dan keris kecil dari dalam laci. Di dalamnya juga ada kain hitam bertuliskan aksara Pegon—bekas dari pelataran cermin.
Ia tiba di Banten keesokan paginya, disambut hujan gerimis dan udara berat. Pondok Abah Amal sepi. Tapi pintu pendopo terbuka.
Di dalamnya, jejak tanah basah membentuk lingkaran. Dan di tengah lingkaran itu, berdiri sosok lelaki tua dengan kain putih—bukan Abah, tapi entitas peniru.
“Abah ada di antara. Hanya kau yang bisa menjemputnya, Nara.”
Seketika, ruangan berputar. Nara tersedot masuk ke dalam pusaran cahaya yang memutar balik waktu. Ia terbangun... di Karangjati. Tapi desa itu berbeda.
Bukan hancur. Bukan kosong.
Desa itu hidup.
Anak-anak bermain, para ibu menjemur pakaian, dan tetua desa duduk melantunkan tembang Sunda. Tapi... semua itu terasa aneh. Mereka tak melihat Nara. Tak ada yang menyadari kehadirannya.
Ia menatap tangannya sendiri—tembus cahaya.
“Kau berada di lorong waktu Karangjati. Ini masa sebelum desa menghilang,” bisik suara dari dalam kepalanya.
“Untuk menyelamatkan Abah Amal, kau harus menyaksikan perjanjian yang mengutuk tempat ini.”
Hari berubah cepat. Matahari tenggelam dalam satu kedipan. Malam Selasa Kliwon pun datang. Di alun-alun desa, warga berkumpul membawa sesajen.
Di tengah mereka, seorang lelaki muda berdiri—mirip Abah Amal saat muda. Di hadapannya, seorang dukun wanita tua dengan mata merah membara.
“Kalau kau menolak perjanjian ini, Karangjati akan hilang. Dan kau akan menjadi pemicunya!”
“Aku tak akan menyerahkan nyawa anak-anak kami untuk pesugihanmu, Nyai.”
Perempuan itu tertawa dan mengoyak langit dengan mantera.
Langit pecah. Petir membelah pohon Kinasih. Jeritan terdengar di mana-mana. Dan dari bawah tanah, muncul cermin hitam—cermin yang sama dengan yang Nara lihat sebelumnya.
“Puter Giling Waktu, saatnya dibuka,” teriak Nyai.
Lorong terbuka, menyerap seluruh desa. Nara terhempas dan jatuh tepat di depan cermin itu.
Di dalam cermin, ia melihat Abah Amal—terikat dan melemah.
“Buka mantra itu, cucuku...”
Nara membaca kain hitamnya. Aksara Pegon mulai menyala:
“Ya Lathif, Ya Qahhar, buka pintu, tutup tipu.”
Cermin bergetar. Dari balik bayangan, Nyai muncul lagi.
“Kau pikir bisa menghapus kutukanku semudah itu? Aku adalah waktu itu sendiri!”
Pertarungan dimulai. Nara menghunus keris tembaga. Saat Nyai mencoba menguasainya, Nara menggores tanah dan menancapkan keris ke pusat bayangan.
Teriakan Nyai menggema seperti ribuan nyawa bersatu.
“Kita akan bertemu lagi, Nara. Di tempat yang bahkan Abahmu tak mampu jangkau.”
Ledakan cahaya.
Semua menjadi gelap.
Nara terbangun di pondok Abah Amal. Abah duduk di sebelahnya, tersenyum lemah.
“Kau menyelamatkan lebih dari sekadar aku. Kau menyelamatkan waktu.”
Tapi Nara tahu, segalanya belum selesai.
Ia menemukan satu goresan baru di keris tembaga miliknya. Bukan aksara Arab. Tapi huruf Latin:
“MENARA KEEMPAT.”
Dan ia tahu, Selasa Kliwon berikutnya akan datang lebih cepat dari yang diduga.
Komentar
Posting Komentar