SOSOK SURUHAN
Pekerjaan jurnalistiknya berjalan seperti biasa, namun indera keenamnya menolak tenang. Setiap kali ia menyalakan rekaman audio, ada bisikan samar, "Aku belum mati, hanya tertidur di dalam bayangmu..."
Pada malam yang ke-9 sejak penyegelan, ia mendapat pesan suara dari seorang sumber yang tak dikenal. Suara laki-laki tua, berat, tetapi gemetar. "Ada yang mencari kamu di Cilacap. Bukan manusia. Tapi dia menyamar. Membawa nama. Menawarkan bantuan. Hati-hati, dia bukan kamu..."
Nara tahu ini bukan kasus biasa. Ia pun memesan tiket menuju Cilacap, menyamar sebagai mahasiswa yang hendak meneliti tradisi lokal. Tapi begitu ia tiba di daerah pesisir, ia merasakan hawa yang aneh. Seperti malam tak pernah benar-benar pergi, meski matahari menyinari langit.
Di sebuah warung kopi tua, ia bertemu seorang wanita bernama Bu Murni, penjaga rumah singgah nelayan. "Kamu bukan orang biasa," kata Bu Murni sambil menatap mata Nara tajam. "Anak dari Raras. Murid Abah Amal. Aku sudah tunggu kamu. Sosok itu sudah datang. Dia pakai wajah orang yang kamu kenal. Tapi bukan dia."
Wajah yang Nara kenal?
Malam itu juga, di tengah badai laut, Nara melihat sosok tinggi berbaju putih berdiri di bibir pantai. Saat ia mendekat, sosok itu menoleh. Itu wajah Ki Maheswara—murid tertua Abah Amal yang telah meninggal. Tapi mata sosok itu kosong, dan dari balik punggungnya tumbuh bayangan bergerigi seperti sayap kelelawar.
"Nara... tolong aku..." suara itu lirih, namun bukan milik Maheswara.
Nara melangkah mundur. Ia tahu ini bukan arwah gurunya. Ini suruhan. Dukun Larang belum sepenuhnya lenyap. Ia mewariskan sebagian jiwanya pada bayangan untuk mencari tubuh baru, dan "sosok suruhan" ini adalah jembatannya.
Tiga hari ia tinggal di rumah Bu Murni, menggali informasi. Setiap malam, sosok itu datang. Kadang berwujud Maheswara. Kadang ibunya. Bahkan pernah menyerupai dirinya sendiri. Suruhan itu meniru kenangan untuk melemahkan pertahanan batin.
Dalam salah satu penglihatan, ia melihat ritual yang dilakukan Dukun Larang sebelum tewas. Ia memanggil "Bayang Lima", makhluk kelima yang lebih cerdas dan bisa menyamar sempurna. Tujuannya: mendekati Nara, menggoyahkan pikirannya, lalu mengambil alih tubuhnya sebagai wadah baru.
Di akhir malam ketiga, Nara memutuskan untuk menghadapinya. Ia membangun lingkaran pelindung dari garam, tanah kuburan leluhur, dan rambutnya sendiri—seperti yang diajarkan Abah Amal dulu. Sosok suruhan muncul. Kali ini tanpa wajah. Seperti tubuh manusia dilapisi kain hitam yang bergerak seperti asap.
"Kau bisa meniruku, tapi kau tak punya cahaya," kata Nara sambil memegang keris pusaka.
Sosok itu tertawa. Terdengar dari berbagai arah. "Cahayamu telah retak. Kau mulai lupa siapa dirimu. Itu cukup. Aku akan menyempurnakan bentukku dalam bayangmu."
Pertarungan batin pun dimulai. Nara harus masuk ke dalam pikirannya sendiri. Di sana ia melihat masa kecil yang telah ia lupakan: saat ibunya menyerahkan dirinya untuk menyelamatkan desa. Saat ayahnya kabur karena tak sanggup melihat kegelapan dalam darah anaknya.
Ia menangis. Tapi di balik air mata itu, ada kekuatan. Bukan dari mantra. Tapi dari pengakuan dan penerimaan. Ia bukan hanya cahaya atau bayang. Ia adalah penghubung.
Dengan tangannya sendiri, ia menghapus wajah sosok suruhan itu. Sosok itu meronta, berteriak, "Kau belum menang! Aku ada di setiap keraguanmu!"
"Tapi aku kini berdamai dengan diriku. Kau tak lagi punya tempat."
Lingkaran garam menyala. Keris pusaka ia tancapkan ke tengahnya. Sosok itu membakar dirinya sendiri. Menjadi abu. Tapi dari dalam abu itu, sebuah benda kecil tertinggal: potongan kuku. Hitam dan keras.
Nara tahu, Dukun Larang masih punya rencana lain. Dan ini baru awal dari serangan lewat suruhan-suruhan berikutnya.
Pagi pun datang. Untuk pertama kalinya sejak ia tiba, suara burung terdengar. Bu Murni menyerahkan sebuah surat lama dari Abah Amal, yang ditulis sebelum ia koma:
"Nara, jika kau membaca ini, maka ujianmu baru dimulai. Dukun Larang punya banyak wajah. Jangan percaya apapun yang bisa meniru kenangan. Percaya pada getar hatimu. Sebab bayang tak akan bisa meniru cinta."
Nara menutup surat itu. Ia kini tahu: perang belum selesai. Tapi ia tak lagi sendiri. Ia membawa kenangan, cinta, dan nama yang akan ia jaga...
Nama ibunya. Nama gurunya. Dan nama yang mulai dikenang dunia gaib dengan rasa gentar:
Nara.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar