TULANG TUMBAL
Malam itu, Nara terbangun dari mimpi buruk yang terasa seperti nyata. Ia melihat tulang manusia yang berdarah, berdenyut seperti hidup, di tengah ruang sunyi berselimut kabut. Di sekelilingnya, suara gamelan bertalu pelan, bukan dari instrumen, tapi dari rongga tengkorak-tengkorak kecil yang beradu.
Peluh dingin membasahi tengkuknya. Tangannya meraih kamera tua di samping bantal. Ia mengira itu hanya mimpi—sampai mendapati serpihan tulang kecil tergeletak di lantai kamar kosnya.
Tiga hari kemudian, ia menerima surat tanpa nama pengirim. Di dalamnya, hanya secarik peta usang dan tulisan tangan tua: "Tulang tumbal telah berpindah. Kembali sebelum ia menyatu."
Nara tahu, ini bukan sekadar undangan. Ini peringatan. Dan peta itu menunjuk ke sebuah desa di lereng Gunung Lawu: Dukuh Candikusumo.
Udara dingin menyelimuti saat Nara turun dari angkutan desa. Pohon-pohon besar menaungi jalan masuk. Tak ada sinyal, tak ada suara. Wajah-wajah penduduk memandangnya penuh curiga, sebagian lain pura-pura tak melihat. Di desa itu, ada pesantren tua yang sudah tak aktif, namun kabarnya masih dihuni seorang kiai tua yang dulunya murid Abah Amal.
Nara mengetuk pintu kayu pesantren. Yang membukakan bukan manusia. Tapi bayangan.
Namun sebelum rasa takut menelannya, sosok tua muncul dari balik pintu.
"Kamu datang juga, Nara," suara berat dan lamban menyambutnya. "Aku sudah lama menunggu."
Ia adalah Ki Raksa, murid senior Abah Amal yang pernah dibuang karena membangkang. Namun kini ia adalah satu-satunya saksi hidup atas apa yang akan terjadi: kebangkitan Dukun Larang dari tulang yang dikutuk.
"Dukun Larang tidak hanya kembali. Ia menyusun ulang tubuhnya dari tulang-tulang tumbal. Ia butuh satu lagi... tulang pengikat. Tulang dari darah penjaga."
Nara menelan ludah. Ia tahu siapa yang dimaksud. Dirinya sendiri.
Nara mulai menyelidiki. Setiap malam, suara gamelan muncul dari bukit. Saat ia mendekat, ia melihat prosesi aneh: orang-orang dengan tubuh kosong, mata kosong, menari mengelilingi api unggun dan pusaka keris yang berdiri tegak. Keris itu menancap di tengkorak manusia. Setiap langkah mereka menghasilkan retakan tanah.
Nara mengambil gambar. Tapi kamera mati. Baterai terkuras habis meski baru diisi. Ia lari. Namun bayangan mengikuti.
Ki Raksa menjelaskan: keris itu dibuat dari besi angin, dicampur tulang manusia pilihan. Para santri yang hilang telah dijadikan bahan baru oleh Dukun Larang.
"Ia tak lagi butuh tubuhnya sendiri. Ia butuh tubuh sempurna. Dan kau adalah bingkai itu, Nara."
Nara memutuskan menghadapi Dukun Larang secara langsung. Ia kembali ke tengah ritual. Kali ini, Dukun Larang sudah bangkit, mengenakan tubuh baru hasil gabungan tulang-tulang terkutuk. Matanya kosong namun hitam pekat. Suaranya bergetar menggetarkan tanah.
"Darah ibumu menyegelku. Darahmu akan membebaskanku."
Pertarungan dimulai. Bukan hanya fisik, tapi batin dan spiritual. Nara membaca mantra-mantra yang diajarkan Abah Amal. Tapi itu tidak cukup. Setiap mantra dibalas dengan kutuk. Setiap serangan dibalas rasa sakit yang bukan miliknya.
Dalam ketakutan dan nyeri, Nara masuk ke dalam pikirannya. Ia bertemu sosok ibunya. Raras, dalam wujud cahaya.
"Gunakan bukan mantraku. Gunakan hatimu. Bayang tidak bisa melawan terang yang jujur."
Dengan air mata, Nara merapal satu kalimat:
"Yang hidup tak akan tunduk pada yang mati. Yang ikhlas menolak kutukmu."
Tubuh Dukun Larang mulai retak. Keris pusaka itu terangkat dari tanah. Nara menancapkannya ke jantung tubuh itu, bukan untuk membunuh, tapi untuk menyegel.
"Kembalilah jadi abu. Tulangmu bukan lagi tempatmu."
Desa Candikusumo kembali tenang. Tapi setiap malam Selasa Kliwon, Nara merasakan tulangnya berdenyut seolah mengingatkan bahwa tumbal tak pernah benar-benar mati.
Ki Raksa meninggal tujuh hari kemudian, meninggalkan pesan terakhir:
"Selanjutnya bukan hanya tulang. Tapi jiwa. Jaga hatimu, Nara."
Nara mencatat semuanya. Tapi ia tahu, ini belum selesai. Karena di dalam dirinya, darah penjaga masih menyala. Dan Dukun Larang... hanya tertidur.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar