Tumbal yang tertulis di kulit.
Pernahkah kau merasakan bahwa tubuhmu menyimpan sesuatu yang bukan milikmu? Bahwa ada kalimat-kalimat asing yang muncul di kulitmu, satu per satu, setiap malam saat kau terlelap? Nara tidak pernah meminta warisan ini. Tapi darah yang mengalir di tubuhnya telah menyegel takdir. Dan malam ini, tubuhnya mulai menulis sendiri kisah kematiannya.
---
Tumbal yang Tertulis di Kulit
Pukul 01:13, Nara terbangun oleh rasa panas di punggung kirinya. Bukan rasa sakit biasa, tapi perih membakar seperti dicap dengan besi panas. Ia mendesis, mengangkat tubuhnya dari ranjang, dan berdiri tergesa ke cermin. Dalam pantulan redup cahaya lampu malam, terlihat samar-samar guratan merah seperti ukiran aneh di bawah kulitnya. Belum genap terbaca, hanya serpihan—tapi ia tahu itu huruf.
Dan huruf itu bukan miliknya.
Nara adalah penulis horor, terbiasa dengan fiksi, dengan dunia imajinasi yang ia ciptakan sendiri. Tapi ini bukan tulisannya. Ia tak pernah menulis dengan tubuhnya. Dan siapa pun yang sedang menulis di sana, menulis dengan niat mengubur sesuatu jauh lebih gelap dari sekadar cerita.
Hari itu, ia merasa ringan, namun pikirannya berat. Di bawah cahaya matahari, dunia terlihat biasa saja. Tapi saat bayang-bayang mulai memanjang di sore hari, sesuatu dalam dirinya kembali berdenyut. Gatal yang berubah jadi perih. Ia membuka bajunya dan melihat dua baris kalimat tambahan yang muncul tanpa ia sadari:
"Tujuh nama. Tujuh luka. Satu tubuh. Satu jiwa."
Ia mencoba menghapusnya, menggosok, bahkan menyiram dengan air panas. Tak bergeming. Kalimat itu seperti lahir dari tulangnya sendiri.
Ia mulai mencari jawaban. Lewat jurnal lama milik ibunya yang sudah meninggal, ia menemukan lembaran dengan nama-nama yang asing tapi entah kenapa terasa akrab. Tujuh nama, dengan tanggal-tanggal di sampingnya. Semua tanggal kematian.
Nara mencari asal-usul nama-nama itu. Semuanya ternyata masih satu darah dengannya, tersebar dari garis keturunan nenek buyutnya. Semua mati muda. Semua dikubur tanpa tanda.
Dan satu persamaan dari mereka—diari terakhir mereka menunjukkan hal yang sama: munculnya huruf, kalimat, dan akhirnya satu kutukan.
Ia mencoba menenangkan diri, menganggap itu semua hanya paranoia. Tapi tubuhnya terus bicara. Di dada kirinya, muncul kata:
"SEGERA."
Di sisi perut kanan:
"RUMAH PANGGUNG."
Dan di belakang leher:
"KEMBALI."
Ketika kata-kata itu muncul, Nara tidak punya pilihan selain mengikuti arahannya. Tubuhnya seperti peta yang dipahat untuk menemukan sesuatu yang terkubur. Ia menelusuri lokasi yang disebut dalam jurnal: Desa Gadingwangi. Tempat terakhir di mana tumbal terakhir menghilang.
Perjalanan ke sana seperti melewati kabut mimpi buruk. Penduduk desa enggan bicara. Semua wajah tertutup rasa takut. Tapi seorang anak kecil menarik bajunya dan berbisik:
"Kakak... rumah itu nulis di tubuh orang. Kakak jangan tidur di sana."
Tapi sudah terlambat.
Nara tiba di rumah panggung saat langit menghitam. Rumah tua dari kayu jati hitam itu berdiri di tengah ladang kosong, jauh dari pemukiman. Tak ada pagar. Tak ada cahaya. Tapi pintunya terbuka perlahan, seperti menyambut.
Di dalam rumah itu, semuanya hening. Tapi udara terasa berat. Ia tidur di lantai papan yang dingin, dan malam itu, ia bermimpi.
Dalam mimpi, tujuh sosok berdiri mengelilinginya. Wajah mereka hancur, tubuh mereka penuh ukiran tulisan, dan salah satu dari mereka—seorang perempuan muda—berbisik:
"Tinggal satu luka terakhir. Jika kau menyelesaikannya, kami bebas. Tapi kau… tidak."
Nara terbangun dengan tubuh basah oleh darah. Kata terakhir telah muncul di punggungnya:
"TERKURUNG."
Ia berlari keluar, tapi rumah itu telah berubah. Pintu kembali menutup, jendela-jendela menghitam. Ia kembali ke cermin tua di dalam rumah, dan tubuhnya kini sepenuhnya tertutup tulisan. Ia mencoba membaca semuanya di pantulan kaca, dan sadar—itu bukan kutukan.
Itu adalah cerita.
Cerita tentang tujuh jiwa yang dikorbankan agar satu roh kuno tetap hidup. Cerita tentang darah yang harus mengalir tiap tujuh tahun. Cerita tentang tubuh sebagai wadah.
Dan Nara… adalah lembar terakhir.
Ia mencoba menulis ulang nasibnya. Menggores kalimat baru dengan darahnya sendiri. Tapi huruf-huruf itu tak lagi mau tunduk. Mereka menolak berubah. Mereka hidup.
Saat fajar menyingsing, tubuh Nara berhenti bergerak. Tapi huruf di kulitnya terus berubah, terus menulis. Cerita itu belum selesai.
Dan siapa pun yang membaca ini, akan menjadi tempat huruf-huruf itu berpindah.
Lihat kulitmu. Sudahkah ia mulai menulis?
---
Tamat.
Komentar
Posting Komentar