Postingan

TULANG TUMBAL

Gambar
"Setiap ajian besar membutuhkan tumbal. Dan tidak semua tumbal rela mati." Malam itu, Nara terbangun dari mimpi buruk yang terasa seperti nyata. Ia melihat tulang manusia yang berdarah, berdenyut seperti hidup, di tengah ruang sunyi berselimut kabut. Di sekelilingnya, suara gamelan bertalu pelan, bukan dari instrumen, tapi dari rongga tengkorak-tengkorak kecil yang beradu. Peluh dingin membasahi tengkuknya. Tangannya meraih kamera tua di samping bantal. Ia mengira itu hanya mimpi—sampai mendapati serpihan tulang kecil tergeletak di lantai kamar kosnya. Tiga hari kemudian, ia menerima surat tanpa nama pengirim. Di dalamnya, hanya secarik peta usang dan tulisan tangan tua: "Tulang tumbal telah berpindah. Kembali sebelum ia menyatu." Nara tahu, ini bukan sekadar undangan. Ini peringatan. Dan peta itu menunjuk ke sebuah desa di lereng Gunung Lawu: Dukuh Candikusumo. Udara dingin menyelimuti saat Nara turun dari angkutan desa. Pohon-pohon besar menaungi jalan...

JEJAK ASAL USUL

Gambar
JEJAK ASAL USUL. Saat bayang-bayang masa lalu telah diberi nama, satu misteri tetap membayangi garis hidup Nara: dari mana asal kekuatannya? Siapa Abah Amal sebelum menjadi ajengan? Dan mengapa Dukun Larang tak pernah benar-benar hilang? Petualangan Nara berlanjut ke sebuah desa terpencil di perbatasan Banten–Lampung, tempat asal mula ajaran kuno yang bahkan tidak tercatat dalam kitab Abah. Di sanalah Nara akan membuka lembaran paling tua, dan menghadapi musuh yang tidak hidup, tidak pula mati—melainkan keyakinan yang dibelokkan. --- Malam itu Nara memulai perjalanannya menuju Desa Wanaasih, desa yang bahkan para petapa enggan sebut namanya. Di sanalah konon Abah Amal pernah menutup pintu neraka kecil yang disebut “Lubang Madra.” Tempat itu kini kembali terbuka. Dan cahaya dari tubuh Nara menjadi satu-satunya kunci baru. Namun, yang menunggu di dalam bukan hanya iblis, melainkan manusia yang memilih menjadi iblis. Seorang mantan murid Abah Amal yang dianggap hilang—Ki Marut...

Cermin Waktu & Bayang Tak Bernama

Gambar
Cermin Waktu & Bayang Tak Bernama  Waktu tidak pernah benar-benar lurus. Di dunia di mana siang bisa menjelma malam tanpa peringatan, dan masa lalu terkunci di balik pantulan kaca retak, seorang jurnalis indigo bernama Nara kembali menelusuri jejak ibunya yang hilang—dan menemukan bahwa tidak semua bayang ingin dilawan. Beberapa hanya ingin dikenang. Malam Selasa Kliwon kembali jatuh. Udara lebih dingin dari biasanya. Seperti ada sesuatu di balik angin yang mengendap, mengintip dari balik tirai kenyataan. Nara, jurnalis muda dengan kemampuan indigo yang diwarisi dari ibunya, kini tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran Sukawening. Setelah kejadian terakhir melawan Dukun Larang di Pananjung, ia mencoba hidup tenang. Tapi malam tak pernah membiarkannya benar-benar damai. Setiap Selasa Kliwon, ada suara langkah berat mengitari rumahnya dua kali. Tak pernah lebih, tak pernah kurang. Ia sudah terbiasa. Tapi malam ini berbeda. Saat ia membuka pintu, seorang anak kecil ...

MANTRA BISU

Gambar
> “Jika kau membaca namaku, jangan ucapkan dalam hati. Karena bahkan bisikan pun cukup untuk memanggilku ...” Itulah kalimat pertama dalam kitab tua bersampul kulit manusia yang ditemukan Nara di balik lemari besi milik Abah Amal—ajengan yang telah membimbingnya dalam dunia gaib. Kitab itu tak pernah berbunyi, tak pernah bersuara. Tapi setiap malam Selasa Kliwon, halaman-halamannya terbuka sendiri. Dan setiap kalimatnya, meski bisu, menanamkan rasa takut yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Malam itu, suara jangkrik tiba-tiba berhenti. Semua menjadi senyap. Bahkan detik jam seperti terdiam. Nara berdiri di depan cermin tua yang memantulkan bukan dirinya, tapi sosok bocah lelaki dengan mata hitam dan bibir yang bergerak tanpa suara. “Namaku Pandu,” katanya—tanpa suara, tanpa getaran. Tapi Nara bisa mendengarnya di dalam kepalanya, sejelas suara hatinya sendiri. Lalu cermin itu retak... dan dari balik retakan, keluarlah kabut hitam dengan wajah-wajah yang dul...

SOSOK SURUHAN

Gambar
Sudah dua bulan berlalu sejak Nara menyegel Dukun Larang dalam ritual di lereng Halimun. Tapi setiap malam Selasa Kliwon, ia masih mendengar langkah di sekeliling rumahnya. Dua putaran. Selalu dua. Tanda kehadiran sesuatu dari balik tabir yang belum sepenuhnya tertutup. Pekerjaan jurnalistiknya berjalan seperti biasa, namun indera keenamnya menolak tenang. Setiap kali ia menyalakan rekaman audio, ada bisikan samar, "Aku belum mati, hanya tertidur di dalam bayangmu..." Pada malam yang ke-9 sejak penyegelan, ia mendapat pesan suara dari seorang sumber yang tak dikenal. Suara laki-laki tua, berat, tetapi gemetar. "Ada yang mencari kamu di Cilacap. Bukan manusia. Tapi dia menyamar. Membawa nama. Menawarkan bantuan. Hati-hati, dia bukan kamu..." Nara tahu ini bukan kasus biasa. Ia pun memesan tiket menuju Cilacap, menyamar sebagai mahasiswa yang hendak meneliti tradisi lokal. Tapi begitu ia tiba di daerah pesisir, ia merasakan hawa yang aneh. Seperti malam ta...

MALAM DENDAM NARA

Gambar
Malam itu, langit tampak seperti lembaran kelabu yang ditoreh petir. Di tengah sunyinya desa kecil bernama Pananjung, suara gamelan samar mengalun dari kejauhan—padahal tidak ada hajatan. Nara turun dari ojek, ransel tergantung di punggung. Kamera tua dan buku catatan terselip dalam jaket kulit lusuhnya. Matanya menyapu desa yang tak tercantum di peta digital. “Desa ini hilang dari pencarian internet,” gumamnya. “Tapi data korban nyata.” Ia datang sebagai jurnalis, namun hati kecilnya tahu ini bukan sekadar liputan. Ia anak dari dua dunia: dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Indigo. Murid dari seorang ajengan sakti bernama Abah Amal. Dan malam Selasa Kliwon adalah malam ketika garis dunia dan akhirat paling tipis. Tiga orang warga hilang berturut-turut, semua pada malam yang sama. Warga desa hanya berkata, “Itu malam pembuka gerbang, Mbak. Jangan keluar waktu itu.” Tapi Nara tahu, ini bukan soal kepercayaan. Ini tanda. Di tengah alun-alun desa berdiri sebuah batu besar menyerupai man...