TULANG TUMBAL
"Setiap ajian besar membutuhkan tumbal. Dan tidak semua tumbal rela mati." Malam itu, Nara terbangun dari mimpi buruk yang terasa seperti nyata. Ia melihat tulang manusia yang berdarah, berdenyut seperti hidup, di tengah ruang sunyi berselimut kabut. Di sekelilingnya, suara gamelan bertalu pelan, bukan dari instrumen, tapi dari rongga tengkorak-tengkorak kecil yang beradu. Peluh dingin membasahi tengkuknya. Tangannya meraih kamera tua di samping bantal. Ia mengira itu hanya mimpi—sampai mendapati serpihan tulang kecil tergeletak di lantai kamar kosnya. Tiga hari kemudian, ia menerima surat tanpa nama pengirim. Di dalamnya, hanya secarik peta usang dan tulisan tangan tua: "Tulang tumbal telah berpindah. Kembali sebelum ia menyatu." Nara tahu, ini bukan sekadar undangan. Ini peringatan. Dan peta itu menunjuk ke sebuah desa di lereng Gunung Lawu: Dukuh Candikusumo. Udara dingin menyelimuti saat Nara turun dari angkutan desa. Pohon-pohon besar menaungi jalan...